Minggu, 02 September 2012

MDGs

Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang menjadi komitmen negara-negara Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tersebut mencakup 8 (delapan) kelompok tujuan yaitu 
  1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
  2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua;
  3. Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan;
  4. Menurunkan angka kematian anak;
  5. Meningkatkan kesehatan ibu;

Minggu, 15 Juli 2012

Disaster Management: Perspektif Politik dan Kebijakan



Berbicara Indonesia kini tidak dapat melepaskan diri dari fenomena bencana alam yang kerap melanda, terutama pasca peristiwa Tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Berbagai rentetan bencana alam silih berganti menghujam ibu pertiwi, baik bencana alam besar maupun kecil. Dalam 3 tahun terakhir ini saja, Indonesia telah mengalami berbagai bencana, mulai dari gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006, tsunami di pantai selatan Jawa pada 17 Juli 2006, dan gempa bumi di Bengkulu pada pertengahan tahun 2007, belum lagi ditambah berbagai bencana seperti banjir yang telah menjadi bencana langganan tiap tahun di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini dimungkinkan karena secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang rawan terhadap bencana (ring of fire).

Tema “Tantangan Indonesia Membangun Di Tengah Bencana” inilah yang kemudian diangkat dalam Refleksi Akhir Tahun 2007 Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Sri Yanuarti, Kepala Bidang Perkembangan Politik Nasional, menjadi salah satu pembicara mewakili Pusat Penelitian Politik LIPI dengan makalahnya yang berjudul “Disaster Management: Perspektif Politik dan Kebijakan”.


Jumat, 29 Juni 2012

SEKTOR RIIL SEBAGAI PENOPANG KEMANDIRIAN INDONESIA MELALUI OPTIMASI UMKM


Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dunia. Pada tahun 2000 dengan jumlah penduduk 203,5 juta, Indonesia merupakan nomor empat terbesar di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Letaknya cukup strategis karena terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Di atas Indonesia ada ruang angkasa yang juga strategis sifatnya untuk penempatan satelit bagi komunikasi modern. Sumber daya alamnya melimpah, lautnya penuh ikan. Perut buminya diisi dengan minyak, emas, dan bahan bahan mineral lainnya. Tanah pertaniannya luas dan sebagian merupakan tanah tersubur di dunia. Hutannya merupakan paru paru dunia yang amat penting. Penduduknya sebagian besar beragama Islam yang potensial memiliki api dan semangat kemajuan yang menggelora dan yang merupakan suatu agama yang menjadi pendukung puncak civilisasi umat manusia selama ratusan tahun lamanya di masa silam. Singkatnya Indonesia berpotensi menjadi suatu kekuatan utama dunia.
Tetapi dengan sangat sedih dapat dikemukakan bahwa Indonesia pada saat ini jauh dari posisi yang seharusnya ditempati sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar. Akan tetapi, kemandirian ekonomi negara bukan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Sumber daya alam (SDA) Indonesia sangat melimpah, didukung oleh SDM yang potensial, merupakan faktor penting dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan pengeloaan yang baik, maka akan mampu memberikan nilai tambah (added value) sepenuhnya untuk perekonomian Indonesia sehingga bisa menciptakan suatu kemandirian. Namun, kemandirian tersebut hanya bisa terwujud jika pemerintah memiliki perencanaan jelas tentang pembangunan perekonomian.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN SUKOHARJO

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan sangat penting keberadaanya bagi kelangsungan hidup sebuah negara bangsa. Untuk memperoleh sumber daya manusia yang unggul dibutuhkan satu proses pendidikan yang baik. Proses pendidikan yang baik bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan semata, tetapi juga harus didukung perannya oleh masyarakat dan pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai pemegang amanah tertinggi dari UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa Indonesia.
Seiring bergulirnya reformasi di negara Indonesia yang menuntut otonomi daerah maka secara bertahap pun kewenangan penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada tiap - tiap pemerintah daerah. Dengan diserahkannya kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah berarti telah ada keleluasaan kepada daerah untuk menjalankan aktivitas pelayanan publik tanpa harus banyak terpaku pada aturan-aturan yang telah di buat oleh pemerintah pusat.
Demikian pula dengan pemerintah kabupaten Sukoharjo yang dalam hal ini bertindak sebagai pemerintah daerah setempat yang memiliki hak dan wewenang dalam pendidikan. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo adalah dengan mengeluarkan kebijakan gratis bagi sekolah negeri. Kebijakan pendidikan gratis yang dikeluarkan mulai tanggal 2 Januari 2007 diharapkan mampu meningkatkan intelektual masyarakat dan memenuhi hak pendidikan serta mewujudkan program wajib belajar sembilan tahun. Sekolah negeri yang mendapatkan kebijakan gratis dimulai dari jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA pada jalur pendidikan formal.

Kabupaten sukoharjo adalah sebuah kabupaten yang termasuk dalam karesidenan surakarta, terletak di sebelah selatan kota surakarta. Kabupaten ini memiliki 12 kecamatan. Pada tahun anggaran 2006, pemerintah kabupaten sukoharjo mengalokasikan anggaran untuk pendidikan gratis periode pendidikan 2007/2008 sekitar 9% dari keseluruhan APBD yang keseluruhanya akan dikucurkan kepada semua siswa sekolah-sekolah negeri di kabupaten Sukoharjo.

SAR Search And Rescue


Search And Rescue (SAR) pada hakekatnya adalah suatu kegiatan kemanusiaan yang merupakan kewajiban moral setiap orang meliputi segala hal kegiatan pencarian, pemberian pertolongan dan penyelamatan jiwa manusia dari berbagai musibah, baik dalam penerbangan, pelayaran dan bencana lainnya dengan meminimalisir jumlah korban dan harta benda. Indonesia sendiri dilihat dari kondisi geografis dituntut mampu melaksanakan suatu kegiatan SAR secara terpadu, terampil dan profesional. Perkembangan SAR di Indonesia banyak mengalami perubahan dan peningkatan efektifitas pelaksanaan operasi SAR. 
Perkembangan tersebut dimulai melalui suatu konvensi Internasional dimana  Indonesia sendiri telah masuk menjadi anggota beberapa organisasi antara lain :
1.              International Civil Aviation Organization (ICAO) sejak tahun 1950 dimana terdapat pasal yang menerangkan mengenai Standar International mengenai Search ang Rescue yang meliputi organisasi, tugas dan kerjasam dengan negara tetangga.
2.              International Maritim Organization (IMO) sejak tahun 1974 dimana diatur juga mengenai organisasi, tugas dan kejasama dengan Negara tetangga.
3.              Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mewajibkan setiap Negara anggota mempunyai unit tugas dalam hal Search And Rescue.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalam perkembangannya, Indonesia mempunyai unit tugas dalam bidang SAR yang dimulai dengan didirikannya Pusat SAR Indonesia (PUSSARI) kemudian Badan SAR Indonesia (BASARI) yang merupakan Lembaga Koordinator tingkat pusat dan Badan SAR Nasional (BASARNAS) yang merupakan lembaga pelaksana tingakt pusat..

Lembaga Pelaksana SAR

Rabu, 27 Juni 2012

Sejarah Perkembangan Pemilu di Indonesia

  1.     Pemilihan umum di Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1955. Saat itu, pemilu diadakan dua kali, untuk anggota DPR pada bulan September dan Konstituante pada bulan Desember. Pemilu ini merupakan pemilu proporsional. Pemilu saat itu menghasilkan 27 partai dan 1 perorangan. Ada 4 partai yang memperoleh suara terbanyak pada pemilu tersebut, yaitu Masyumi, PNI, NU, dan PKI. 
  2.      Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Presiden Soeharto menyusutkan partai menjadi 10, yaitu PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji,dan partai Islam Perti. Partai-partai tersebut mengikuti pemilu pada tahun 1971, karena di zaman Demokrasi Terpimpin tidak ada pemilu. 
  3.         Setelah Demokrasi Terpimpin yang semi otoriter runtuh, pemilu kembali diadakan pada zaman Demokrasi Pancasila, dengan Golkar sebagai pemenangnya. Pemilu pada zaman ini hanya terdiri dari 3 peserta, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Hal ini terus berlangsung sampai zaman Reformasi 
  4.      Pada zaman Reformasi, pemilu diadakan tahun 1999 dengan diikuti 48 partai, dan yang berhasil duduk di DPR sebanyak 21 partai. Kemudian pada tahun 2004, Indonesia untuk pertamakalinya mengadakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Selain itu, pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai. Pemilu 2004 menghasilkan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian di tahun 2009, pemilu diadakan kembali dengan diikuti 44 partai, dan memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Minggu, 22 April 2012

GLOBALISASI SEBAGAI ROTOR SEMANGAT CINTA TANAH AIR


Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi yang secara mendunia menyebabkan hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi tersebut sehingga jarak antara negara yang satu dengan yang lain terasa tidak ada. Dengan arus globalisasi yang kuat pada abad 21 ini, bagi negara berkembang seperti Indonesia harus mewaspadai dampak dari adanya globalisasi, sehingga dapat menjadikan globalisasi sebagai sebuah peluang untuk perkembangan bangsa bukannya menjadi sebuah ancaman. Dana Moneter Internasional didefinisikan globalisasi ekonomi sebagai: sebuah proses sejarah, hasil dari manusia dan kemajuan teknologi. Ini mengacu pada peningkatan integrasi ekonomi di seluruh dunia, khususnya melalui perdagangan dan arus keuangan. Istilah ini juga merujuk pada gerakan orang (tenaga kerja) dan pengetahuan (teknologi) melintasi perbatasan internasional. Pengaruh globalisasi meliputi berbagai aspek kehidupan. Meskipun ada sedikit masyarakat yang menolak globalisai karena menganggap globalisasi hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. Tetapi penolakan itu tidak ada pengaruhnya karena kuatnya arus globalisasi masuk melalui berbagai saluran, diantaranya adalah :
a.       lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan
b.      lembaga keagamaan
c.       indutri internasional dan lembaga perdagangan
d.      wisata mancanegara
e.       saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional
f.       lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional
g.      lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler


karakteristik inti globalisasi yaitu :
  1. Interdependensi ekonomi belumpernah terjadi sebelumnyadidorong oleh modal lintas batas gerakan, tranfer teknologi yang cepatreal time komunikasi dan informasi yang mengalir. 
  2.  Rise aktor baru yang menentang otoritas negara, khususnya organisasi-organisasi nonpemerintah dan kelompok-kelompok sipil, perusahaan global dan jaringan produksi dan bahkan pasar keuangan. 
  3.  Tekanan pada negara berkembang untuk menyesuaikan diri dengan standar internasional baru pemerintah, khususnya di bidang transparansi dan akuntabilitas. 
  4. Munculnya barat yang semakin didominasi budaya internasional, sebuah tren yang di banyak negara telah memicu keprihatianan tentang erosi identitas nasional dan nilai-nilai traisional.
  5.  Munculnya masalah-masalah transnasional berat yang memerlukan kerjasama multilateral untuk menyelasaikannya.
Dengan adanya globalisasi, banyak para pakar ahli yang beranggapan bahwa globalisasi ini yang nantinya akan membawa kehancuran bagi Indonesia. Padahal jika dikaji lebih mendalam lagi kita bisa menggunakan globalisasi sebagai alat untuk menuju puncak dunia. Indonesia harus dengan tegas dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam mengkaji globalisasi agar tidak salah langkah.
Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dalam menjalankan tuganya pasti akan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme yang meningkat.
Sedang dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa jika globalisasi ditanggapi dengan positif. Pemerintah juga harus membantu masyarakat dalam segi ekonomi dan kebijakan yang memihak kepada rakyat, Indonesia bisa membuat suatu kreativitas untuk di ekspor ke luar negeri. Terlebih lagi dengan tidak adanya pajak ekspor-impor dan sebenarnya banyak produk-produk dari Indonesia yang berbeda dari produk negara lain dan sifatnya juga unik sehingga Indonesia bisa menjadi salah satu pemimpin ekonomi di dunia. Hal ini tentu saja juga akan menambah lapangan pekerjaan yanng pada akhirnya membuat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia meningkat pula. Tindakan seperti inilah yang pada akhirnya nanti akan memupuk jiwa nasionalisme yang cinta akan bumi pertiwi. Karena rakyat pasti akan percaya dan bangga apabila negara tempatnya dilahirkan menjadi negara yang selalu memperhatikan, melindungi dan menjaganya serta menjadi negara yang besar sebagai pemimpin ekonomi dunia.
 Dan untuk globalisasi sosial budaya bangsa Indonesia dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju. Indonesia harus menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan mendoktrinasinya sejak dini terhadap bangsa indonesia agar jiwa cinta tanah air tidak aka hilang ditelan oleh waktu, meskipun mereka menjadi dewasa dan tua. Terlebih lagi dengan globalisasi yang kuat yang membawa budaya barat yang pada kakekatnya sangat bertentangan dengan budaya Indonesia. Ketika kultur-kultur atau budaya-budaya nasionalisme dan cinta tanah air yang sudah melekat erat pada batin dan jiwa bangsa Indonesia, maka Indonesia tidak perlu kwatir lagi menghadapi permasalahan seperti itu, karena ada beberapa cara untuk mengatasi globalisasi yang bisa menjatuhkan suatu bangsa, diantaranya adalah sebagai beriut ini :
1.      Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.      Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.      Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.      Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5.      Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Bangsa ini yang seharusnya mengajak bangsa-bangsa lain untuk mengajak bahkan mengajari mereka bahwa budaya Indonesia yang termasuk dalam budaya ketimuran merupakan suatu budaya yang baik dan benar. Jika kita lihat dari para turis mancanegara yang berlibur ke Indonesia, mereka justru terlihat senang dan bangga bisa melihat budaya Indonesia, sehingga Indonesia tidak perlu takut apabila pemuda yang menjadi tumpuan negara malah mengikuti budaya asing dan melupakan budaya sendiri.
Dalam menjalankan roda perekonomian yang kaitannya dengan globalisasi, Indonesia menempuh jalan ekonomi pasar yakni jalan ekonomi pasar yang mengacu pada visi nasional, kepada pancasila dan UUD 1945 serta kerangka sosial budaya yang mengikat tata nilai Indonesia. Nilai dan semangat visi serta acuan Indonesia itu dinyatakan dalam orientasi dan semangat kebersamaan, semangat keadilan sosial dan semangat bahwa hak milik berfungsi sosial. Bahkan secara eksplisit dinyatakan visi, orientasi, nilai dan semangat itu diantaranya dalam pasal 33 UUD 1945.
Globalisasi informasi sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya serta kekuatan-kekuatan sosial lain baik dari dalam maupun dari luar berpengaruh terhadap eksistensi pancasila. Namun pancasila tetap akan hidup sepanjang sendi dan visi itu relevan dan aktual. Indonesia memiliki paham demokrasi yang terbuka dengan kemampuan untuk tetap relevan dan aktual yang terkandung di dalamnya, maka perlu adanay suatu pemahaman yang spesifik untuk dapat menerjemahkan Pancasila sebagai ideologi terbuka itu sekarang di tengah-tengah hangatnya perubahan dan milenium baru yang ditandai oleh pola globalisasi secara lebih intensif dan simultan. Ketika kekuatan pola globalisasi ini semakin besar maka, bangsa Indonesiapun juga akan memperkuat persatuan demi menjaga keutuhan bangsa ini. Dengan begitu bangsa ini akan lebih peka terhadap ancaman dari luar yang masuk melalui arus globalisasi.



Referensi
Oetama, Jacob. 2001. Berpikir Ulang Tentang Keindonesiaan. Jakarta : Buku Kompas.
Saul, John Ralston. 2008. Runtuhnya GLOBALISASI dan Penemuan Kembali DUNIA. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


AMANDEMEN UUD 1945 UNTUK SISTEM PEMERINTAHAN YANG DEMOKRATIS DAN PLURALISTIS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45, artinya misalnya pasal-pasalnya dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya. Ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) no.1. No.2 memilih Soekarno Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. No.3 berbunyi : Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tampa batas karena presiden berfungsi sebagai eksekutif sekaligus sebagai pimpinan legislatif. Ini menunjukkan bahwa Indonesia kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Makanya konstitusi Negara Indonesia harus diamandemen.
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, rusaknya manajemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian  bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang asli atau UUD 1945 yang belum mengalammi amandemen akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.

Keberadaan UUD 1945 yang  selama ini disakralkan dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan  berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai kontrak sosial baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah  sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang.  Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini  menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Dengan amandemen yang diinginkan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah maka akan terbentuk Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam prosesnya, amandemen UUD 1945 menimbulkan banyak perdebatan, maka dari itu dapat dibuat beberapa rumusan masalah seperti berikut ini :
1.      Bagaimana sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia sejak awal terbentuknya UUD 1945 sampai sekarang?
2.      Sebutkan alasan-alasan mengapa ada pihak yang menolak amandemen UUD 1945?
3.      Mengapa dengan amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia bisa menjadi lebih demokratis dan pluralistis?















BAB II
PEMBAHASAN
1.    Sejarah ketatanegaraan
Saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, hanya membuat UUD 1945 bersifat sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar kilat". Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas kedaulatan rakyat.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda, bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus 1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan Indonesia menerapkan UUD 1945 yang asli, yang kekuasaan sepenuhnya di tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949 bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950 diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD baru yang definitif.
Sebelum tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami jalan buntu dalam menyusun UUD baru, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer dan pendukung Soekarno.
Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi. Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
kondisi ini dikhawatirkan bangsa Indonesia sedang menghadapi bahaya pengulangan sejarah, adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki kembalinya Demokrasi Terpimpin. Dulu mereka berhasil menghapus Majelis Konstituante dengan memakai Dekrit 5 Juli 1959. Atau pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya Demokrasi Pancasila yang dengan landasan UUD 1945 yang murni dan konsekuen berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa "kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
2. Pandangan Terhadap Amandemen UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan tertinggi karena dianggap representasi dari  kedaulatan rakyat adalah badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan perubahan  UUD ditentukan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN.
Dalam kurun waktu 1999-2002, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
• Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
• Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
 Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan itu  menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia,  kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan.
Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk  memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga tidak ada kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini.
Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran semacam itu nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif.
Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung menjadi sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR.
Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR.
Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian.
Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan. Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. Dengan ditutupnya ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Seperti tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif,  juga pemerintahan yang bersifat desentralistik,  hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini.

Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945
Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional.
Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu :
Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945.
Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut :
-         Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia  aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat. 
-         dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
-         Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan.
-         amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan :
o       tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka
o       tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer
o       tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi.
tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif terhadap    pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah otonomi khusus.
-         Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  "Salah satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi.
-         kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif













BAB III
KESIMPULAN

Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir
  2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu.
  3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi. 

DAFTAR PUSTAKA
Catatan terhadap hasil rumusan amandemen pertama dan kedua UUD 1944, KRHN,maret, 2001
Amandemen harus libatkan rakyat